Rabu, 08 Desember 2010

pancasila dalam ideologi kebudayaan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan kesepakatan politik para pendiri negara ketika negara Indonesia didirikan. Namun dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa sering pula terjadi upaya pelurusan kembali.


 
Pancasila sering digolongkan ke dalam ideologi tengah di antara dua ideologi besar dunia yang paling berpengaruh. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yang membuat kita sulit menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi pada era globalisasi yang mulai membooming hingga hampir tak terkendali seperti saat ini. Tanpa adanya pondasi yang kuat dalam menerapkan nilai-nilai pancasila, masyarakat terancam oleh adanya berbagai macam degradasi, mulai dari degradasi pemikiran, cara pandang, dan dampak-dampak lain yang tak dapat dihindarkan akibat adanya  globalisasi. Dan yang paling menghawatirkan adalah degradasi kebudayaan. Seperti yang kita ketahui, bahwa negara Indonesia adalah negara yang plural. Indonesia memiliki berbagai macam budaya yang harus senantiasa dijaga kelestariannya. Budaya yang memiliki nilai-nilai luhur yang benar-benar mampu menyatukan dan mencitrakan bangsa kita. Di sisi lain, globalisasi sangat penting dalam mempertahankan eksistansi sebuah Negara di dunia internasional. Sedangkan fakta yang terjadi adalah jika negara ingin bertahan dalam globalisasi, mau tidak mau perubahan tatanan sosial, politik, hukum, dan bahkan kebudayaan. Hal inilah yang dialami oleh beberapa negara berkembang di Asia Timur dan Tenggara, tidak terkecuali Indonesia. Sehingga pancasila sangat diperlukan filter untuk menyaring berbagai macam dampak negatif globalisasi yang menyusup ditengah-tengah masyarakat kita, agar nilai-nilai budaya luhur bangsa tidak akan hilang ditelan waktu dan perubahan.
2
 
 

 Begitu pentingnya pelestarian kebudayaan kita dan begitu besarnya peranan pancasila dalam menjaga eksistansi budaya Indinesia, oleh karena itu, penulis membuat sebuah makalah dengan judul, “ Pancasila dalam Globalisasi Kebudayaan “.

B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan secara Praktis
a.  Dengan berakhirnya penulisan makalah ini, penulis berharap dapat memperikan sumbangan yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.
b.  Menumbuhkan rasa cinta tanah air bagi seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya dan pembaca pada khususnya.
c. Memberikan dorongan bagi seluruh pembaca agar menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan
d. Memberikan gambaran untuk senantiasa melestarikan kebudayaan Indonesia di tengah era globalisasi
2. Manfaat secara Teoritis
a.  Menambah wawasan bagi penulis.
b. Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan khususnya bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

C. Ruang Lingkup Materi
a. Deviasi pengamalan Pancasila dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
b. Dinamika aktualisasi Pancasila
c. Kebudayaan dalam globalisasi
d. Hubungan antara Pancasila dengan kebudayaan



BAB II
PEMBAHASAN

A. Deviasi Pengamalan Pancasila dalam Sejarah Pemerintahan
Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan UUD 1945 dalam mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Namun sejak November 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal. Dengan kebijakan ini berarti pemerintah Indonesia menjadi pro-liberalisme. Deviasi ini dikoreksi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berarti haluan politk negara dirubah. Kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang berhaluan kiri ( pada saat itu adalah PKI). Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta-Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.Soekarno) dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah  Orde Baru berusaha mengoreksi segala penyimpangan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya mengarah ke posisi kiri dan anti Barat menariknya ke posisi kanan. Namun rezim Orde Baru pun akhirnya dianggap menyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik dalam menggelola negara. Pada  tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya rezim Orde Baru telah muncul 4 rezim Pemerintahan Reformasi sampai saat ini. Pemerintahan-pemerintahan rezim Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.



3
 
 


4
 
B. Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
      Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:
Pertama, nilai dasar,  yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma.Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat.
Kedua, nilai instrumental,  yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.
Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas.

5
 
Jika ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya nilai praktis ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Bahkan bagi suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat logis  serta konsisten pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praktisnya rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya. Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu jika konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsistensi dalam tiga nilai tersebut.

Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.

Soedjati Djiwandono (1995: 2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami dan menghayati Negara Pancasila dalam berbagai seginya.

Kiranya kurang tepat membuat berbagai konsep dan pengertian pancasila yang seakan-akan sudah jelas betul dan sempurna sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun benar bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi.

6
 
Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan, kemanusiaan dan sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).

b. Perubahan dan Kebaharuan
Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu akibat yang timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) dalam aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata disebabkan kemampuan dari dalam (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu peristiwa yang terkait atau berrelasi dengan realitas yang lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.

C. Kebudayaan dalam Era Glonalisasi
Negara-bangsa apabila ingin bertahan dalam jaman globalisasi yang tak terbendung ini mau tak mau harus juga merubah tatanan sosial politik, hukum dan budayanya karena antara ekonomi dengan sosial politik, hukum dan budaya tak dapat dipisahkan. Globalisasi yang tengah terjadi bukan saja globalisasi ekonomi, tetapi Juga globalisasi nilai-nilai sosial potitik, hukum dan budaya. Perubahan yang tengah melanda negara-negara bekas komunis seperti Rusia, Yugoslavia, Polandia dan Cina, misalnya, bukanlah sekedar perubahan dari sistem ekonomi negara yang terkendali ke sistem ekonomi pasar, tetapi justru perubahan dalam sistern dan nilai-nilai sosial politik, hukum dan budaya.
7
 
7
 
Dalam bidang sosial budaya ditemukan terjadinya asimilasi budaya setengah hati. Kita sepertinya tidak sepenuhnya mau menerima pengaruh budaya asing padahal pintu-pintu bandara kita sudah terbuka lebar malah tanpa visa bagi beberapa wisatawan dari negara lain. Dari sisi ekonomi jelas ada pemasukan negara yang cukup besar, tetapi adalah tidak realistis menolak pengaruh budaya asing secara berlebihan dan menudingnya sebagai perusak budaya nasional. Aturan yang memperbolehkan parabola dan siaran satelit langsung menyerbu rumah-rumah kita secara bersamaan tentu masuk pula nilai-nilai budaya asing. anehnya, tumbuh pula semacam sikap xenophobia (ketakutan terhadap yang asing). Inbetweenness, dapat juga kita maknai sebagai bentuk kehati-hatian, memilah-milah yang baik dan membuang yang buruk. Penafsiran kita tentang individu masyarakat sering dikaitkan orang dengan perbedaan kebudayaan Timur dan kebudayaan Barat. Hal ini misalnya kita membaca budaya Barat dicirikan dengan materialisme, rasionalisme dan individualisme, sedangkan Timur dengan faham anti terhadap ketiga faham tersebut. Dalam kaitan dengan kehidupan rohani dan spiritual, Timur mementingkan kehidupan rohani, mistik, sedangkan Barat tidak. Perbedaan ini yang kemudian butuh kejelian kita dalam mengadopsi segala sesuatu dari orang asing dalam era globalisasi.
Kekhasan khazanah budaya, di samping memberi isi kepada jati diri budaya bangsa, juga merupakan milik yang dapat diposisikan sebagai keunggulan komparatif dalam bidang industri budaya. Bangsa Indonesia dengan segala potensinya pada sumber daya manusia maupun sumber daya budayanya justru perlu dilestarikan untuk dapat menunggangi dan mengarahkan globalisasi. Kuncinya ada pada dunia pendidikan, semoga para lulusan dari sistem pendidikan Indonesia tidak menjadi penganut globalisme, yaitu menganggap nilai-nilai global yang dipromosikan oleh negara-negara industri besar dunia sebagai satu-satunya orientasi, dan dengan demikian menganggap kebudayaan bangsanya sendiri sebagai ketinggalan zaman atau kampungan.
Pendidikan budaya bangsa berangkat dari pemahaman bahwa setiap ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing dan tidak ada superioritas satu budaya atas budaya lainnya. Karena bagaikan satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda, satu sisi globalisasi mengarahkan semua orang untuk mengadopsi pola kebudayaan yang seragam. Pada sisi lainnya, kecenderungan ini telah memicu munculnya resistansi dari budaya-budaya lokal yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang penyeragaman ini. Sehingga, globalisasi harus tetap memberikan ruang toleransi terhadap keragaman budaya. Toleransi tersebut dapat dijadikan modal sosial dan tidak mengarah kepada proses saling mengeksklusi antara budaya satu dengan budaya lainnya, akan tetapi menjelma menjadi modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja sama multikultural yang berkeadilan.
8
 
D. Pancasila dan Kebudayaan
Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing. Demikian juga terhadap masalah ideologi.Dalam kaitan imi, M.Habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan, terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini,  teknologi sebagai bagian budaya manusia telah jauh mempengaruhi tata kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, tidak mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan dengan tumbuhnya faham kebangsaan.Beberapa informasi dalam berbagai ragam bentuk dan isinya tidak dapat selalu diawasi atau dicegah begitu saja. Mengingkari dan tidak mau tahu “tawaran” atau pengaruh nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir, yang seolah-olah menganggap bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari luar.






9
 


9
 
 

Dalam konteks budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar di dunia sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi pengaruh budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi modern dan latar belakang filsafatnya yang berasal dari luar.

Prof. Notonagoro telah menemukan cara untuk memanfaatkan pengaruh dari luar tersebut, yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan dan ajaran kefilsafatan dari luar tersebut, tetapi dengan melepaskan diri dari sistem filsafat yang bersangkutan dan selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan dari sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila sebagai struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang dapat menggarap apa yang datang dari luar, dalam arti luas, menjadi miliknya tanpa mengubah identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mempengaruhi  dan mengkreasi.

Dinamika Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam dan keterbukaan yang matang untuk menyerap, menghargai, dan memilih nilai-nilai hidup yang tepat dan baik untuk menjadi pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya di  masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tersebut berdasar pada relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yang menyerap atau dipengaruhi oleh nilai-nilai asing, namun nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif untuk melandasi tata kehidupan internasional, baik untuk memberikan orientasi kepada negara-negara berkembang pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara pada umumnya.
10
 
 


























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara adalah suatu keniscayaan, agar Pancasila tetap selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman  bagi pengambilan kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga masyarakat dan warganegara terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi terhadap Pancasila bisa diminimalisir.

Sikap tidak mau menerima kebudayaan asing adalah suatu bentuk cauvinisme, sehingga tantangan pada adanya globalisasi adalah bukan pada bagaimana cara menghindari masuknya kebudayaan asing tetapi bagaimana mengaktualisasikan peranan Pancasila dalam memfilter dan mengolah serta mengkreasi dalam interaksi dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar